PERBEDAAN JAMU, HERBAL TERSTANDART DAN FITOFARMAKA
Tidak
jauh berbeda dengan perjalanan dari telur, ulat, kepompong, lalu
jadilah kupu-kupu. Jamu yang merupakan warisan nenek moyang,
‘bermetamorfosis’ menjadi herbal terstandar hingga tingkatan yang lebih
tinggi yaitu fitofarmaka. Namun perubahan tersebut tidak begitu saja
karena jamu harus diteliti selama bertahun-tahun dengan menelan biaya
milyaran rupiah.
Kategori
obat bahan alam antara lain jamu, herbal terstandar dan fitofarmaka.
Pengelompokan tersebut berdasar atas cara pembuatan, klaim pengguna dan
tingkat pembuktian khasiat.
Jamu
Jamu
merupakan bahan obat alam yang sediannya masih berupa simplisia
sederhana, seperti irisan rimpang, daun atau akar kering. Sedang
khasiatnya dan keamanannya baru terbukti setelah secara empiris
berdasarkan pengalama turun-temurun. Sebuah ramuan disebut jamu jika
telah digunakan masyarakat melewati 3 generasi. Artinya bila umur satu
generasi rata-rata 60 tahun, sebuah ramuan disebut jamu jika bertahan
minimal 180 tahun.
Sebagai
contoh, masyarakat telah menggunakan rimpang temulawak untuk mengatasi
hepatitis selama ratusan tahun. Pembuktian khasiat tersebut baru sebatas
pengalaman, selama belum ada penelitian ilmiah yang membuktikan bahwa
temulawak sebagai antihepatitis.
Jadi Curcuma xanthorriza itu tetaplah jamu. Artinya ketika dikemas dan dipasarkan, prosuden dilarang mengklaim temulawak sebagai obat. Selain
tertulis "jamu", dikemasan produk tertera logo berupa ranting daun
berwarna hijau dalam lingkaran. Di pasaran banyak beredar produksi kamu
seperti Tolak Angin (PT Sido Muncul), Pil Binari (PT Tenaga Tani
Farma), Curmaxan dan Diacinn (Lansida Herbal), dll.
Herbal Terstandar
Jamu
dapat dinaikkan kelasnya menjadi herbal terstandar dengan syarat bentuk
sediaannya berupa ekstrak dengan bahan dan proses pembuatan yang
terstandarisasi. Disamping itu herbal terstandar harus melewati uji
praklinis seperti uji toksisitas (keamanan), kisaran dosis,
farmakodinamik (kemanfaatan) dan teratogenik (keamanan terhadap janin).
Uji praklinis meliputi in vivo dan in vitro. Riset in vivo dilakukan terhadap hewan uji seperti mencit, tikus ratus-ratus galur, kelinci atau hewan uji lain.
Sedangkan in vitro dilakukan pada sebagian organ yang terisolasi, kultur sel atau mikroba. Riset in vitro bersifat
parsial, artinya baru diuji pada sebagian organ atau pada cawan petri.
Tujuannya untuk membuktikan klaim sebuah obat. Setelah terbukti aman dan
berkhasiat, bahan herbal tersebut berstatus herbal terstandar.
Meski
telah teruji secara praklinis, herbal terstandar tersebut belum dapat
diklaim sebagai obat. Namun konsumen dapat mengkonsumsinya karena telah
terbukti aman dan berkhasiat. Hingga saat ini, di Indonesia baru 17
produk herbal terstandar yang beredar di pasaran. Sebagai contoh Diapet
(PT Soho Indonesia), Kiranti (PT Ultra Prima Abadi), Psidii (PJ
Tradimun), Diabmeneer (PT Nyonya Meneer), dll. Kemasan produk Herbal
Terstandar berlogo jari-jari daun dalam lingkaran.
Fitofarmaka
Sebuah
herbal terstandar dapat dinaikkan kelasnya menjadi fitofarmaka setelah
melalui uji klinis pada manusia. Dosis dari hewan coba dikonversi ke
dosis aman bagi manusia. Dari uji itulah dapat diketahui kesamaan efek
pada hewan coba dan manusia. Bisa jadi terbukti ampuh ketika diuji pada
hewan coba, belum tentu ampuh juga ketika dicobakan pada manusia.
Uji
klinis terdiri atas single center yang dilakukan di laboratorium
penelitian dan multicenter di berbagai lokasi agar lebih obyektif.
Setelah lolos uji fitofarmaka, produsen dapat mengklaim produknya
sebagai obat. Namun demikian, klaim tidak boleh menyimpang dari materi
uji klinis sebelumnya. Misalnya, ketika uji klinis hanya sebagai
antikanker, produsen dilarang mengklaim produknya sebagai antikanker dan
antidiabetes.
Kemasan
produk fitofarmaka berupa jari-jari daun yang membentuk bintang dalam
lingkaran. Saat ini di Indonesia baru terdapat 5 fitofarmaka, contoh
Nodiar (PT Kimia Farma), Stimuno (PT Dexa Medica), Rheumaneer PT. Nyonya
Meneer), Tensigard dan X-Gra (PT Phapros).
Itulah
tiga kriteria produk bahan alam dan tahapan panjang yang harus dilalui
oleh produsen obat bahan alam untuk mendapatkan status tertinggi sebagai
obat yaitu fitofarmaka. Semua uji tersebut ditempuh demi keamanan
konsumen.
Komentar
Posting Komentar